Date:Thu, 23 Nov 2000 20:12:01 -0800 (PST)
From:Harato Zoya | Block address
To:apakabar@radix.net
Add Addresses
Sdri. Khadijah Umar
Anda seharusnya jangan ber-agama Islam bila tidak bisa
menjadi Islam sejati yang penuh kekerasan dan
kesadisan.
Agama Islam memang sudah dari dahulu kala bertidak
seperti itu. Menumpas orang-orang yang tidak ber-iman
kepada Islam. Membunuh mereka yang tidak mau menerima
agama Islam. Menghancurkan mereka yang menghalangi
penyebaran agama Islam. Nabi Besar Muhammad sudah
memberikan contoh dengan jelas dan tepat untuk
menumpas
mereka yang tidak mau jadi Islam. Orang-orang Kristen
adalah sasaran utama untuk dihancurkan sejak dahulu
kala.
Nabi Besar Muhammad sudah memberikan banyak contoh
bagaimana cara menghancurkan orang-orang Kristen.
Bila Anda tidak melakukan seperti itu, maka Anda bukan
Islam sejati. Lebih baik Anda tidak menggunakan label
agama Islam. Lebih baik Anda masuk Agama lain yang
lebih
sejuk dan tentram menurut Anda. Jangan Anda berlindung
di
balik Islam tapi tidak menjadi Islam sejati yang mau
berjihad
untuk membasmi orang-orang yang tidak sealiran.
Sebaiknya
Anda keluar dari Islam. Agama Islam tidak memerlukan
golongan seperti Anda. Jangan Anda hanya bersembunyi
dibalik Islam tapi berkelakuan seperti Agama lain.
Dalam
agama Islam tidak punya alasan untuk mengasihi musuh.
Musuh Islam harus dihancurkan. Bila Anda tidak mau
menghancurkan musuh Islam, maka Anda jangan masuk
agama Islam. Di dalam agama Islam tidak ada kompromi
dengan musuh. Musuh harus dibinasakan oleh Islam.
Keluar
dari agama Islam bila Anda tidak mau menghancurkan
musuh. Musuh agam Islam adalah mereka yang tidak
sealiran dengan Agama Islam sejati. Tunjukan
ke-Islaman
Anda. Jangan Anda takut disebut sadis karena Nabi
Besar
Muhammad juga sudah memberikan contoh bagaimana
Beliau membunuh, menghancurkan, mengejar-gejar orang-
orang yang tidak mau tunduk kepada Islam. Betapa Nabi
Besar Muhammad berjuang begitu perkasa untuk membunuh
dan membantai orang-orang yang tidak mau masuk agama
Islam. Memang Islam adalah agama keras dan itulah
ciri-ciri
Islam. Anda sudah tahu bagaimana simbol dua Pedang
yang
selalu menyertai Islam sejati. Itu adalah risiko
sebagai Islam
sejati. Walau dunia tidak mau terima, maka sebagai
Islam
sejati Anda harus bertahan. Jangan takut disebut
sadis,
kejam, tidak berperikemanusiaan, tidak ber-HAM dan
sebagainya. Memotong tangan adalah sifat dasar Islam.
Memancung kepala orang adalah bagian dari Islam.
Merajam
dengan batu adalah ciri utama dasar Islam. Hukum
gantung
adalah dasar pedoman Islam. Hukum mati adalah dasar
utama Islam sejati. Bila Anda tidak bisa begitu, maka
Anda
sebaiknya keluar dari agama Islam. Jangan menggunakan
mayoritas Islam sebagai alat persembunyiaan Anda.
Jangan
menjadikan Islam sebagai tempat yang aman dari kejaran
orang-orang Islam sejati. Anda dan orang-orang
seperti
Anda hanyalah mencari keselamatan diri sendiri dari
kejaran
Islam sejati. Anda dan kelompok seperi Anda adalah
pengecut. Lebih baik Anda jadi pemeluk agama lain
daripada
Anda menjadi Islam yang lain dari Islam Sejati seperti
ditunjukan oleh Nabi Besar Muhammad. Jangan Anda plin-
plan, hanya mau cari aman sendiri. Bila Anda tidak
bisa menjadi Islam sejati yang penuh dengan kekerasan,
pembunuhan, kekejaman, pertumpahan darah, terorris,
pembantaian, perkosaan, penjarahan, jihad, bakar,
rusak dll
maka Anda sebaiknya mundur dari Islam dan peluk agama
lain. Islam Humanis bukan Islam yang diajarkan Nabi
Besar
Muhammad. Jangan Anda mendapat sanjungan dan Islam
sejati mendapat cercaan. Keluar dari agama Islam bila
Anda
takut dituding ber-agama sadis dan ganas. Jangan
bermain air
jika takut basah. Jangan bermain api jika takut
terbakar.
Jangan ber-agama Islam jika takut disebut sadis,
ganas,
kejam, brutal dll.
From: “khadijah umar”
To: “bob_barnabas@hotmail.com,
“milis-spiritual@egroups.com, “apakabar@radix.net
Cc: “homepagereformasi@yahoo.com
Subject: (146)- Orang Islam, menuju perubahan
paradigma
Date: Wed, 15 Nov 2000 09:09:43 JAVT
———————————————-
Dulu, dalam sebuah buku, seorang pemerhati masalah
Islam pernah membagi
orang Islam dalam 3 kategori. Pembagian itu cukup
terkenal sampai sering
dikutip berkali kali dalam pembicaraan, ceramah,
makalah, dan karya-karya
ilmiah yang mengkaji masalah Islam. Pembagian itu
kalau tak salah adalah
santri, priyayi dan abangan.
Pada waktu itu pembagian itu cukup penting karena
berusaha menerangkan
sesuatu untuk menjawab persoalan pada saat itu, yaitu
mengapa ada orang
Islam yang masih selametan, nyekar, nyuguh, pelihara
jimat, susuk dsb. Juga
karena ingin menarik garis pembeda antara yang
berusaha mentaati syariat
secara lebih ketat dengan yang hanya asal merasa
beragama Islam (Islam KTP).
Sekarang, ketika politik sedang galau, transisional,
dirundung kemurungan
ekonomi, provokasi merajalela, maka pembagian diatas
menjadi kurang mengena
untuk mencerna persoalan. Sekarang ini, kita sebagai
siapapun, entah muslim
atau bukan, merasa pembagian yang pas adalah menjadi 2
hal: Islam ideologis
dan Islam humanis.
ISLAM IDEOLOGIS
Islam ideologis banyak mengibarkan bendera Islam.
Islam memancarkan warna
dan style yang sekarang terasa sekali dianggap sebagai
style yang Islami.
Sifatnya lebih keluar daripada kedalam. Ketika
bersentuhan dengan persoalan
menegara, Islam yang ini berkiprah dalam
partai-partai, kubu-kubu politis,
yang eksesnya seringkali berupa provokasi-provokasi
yang berakibat
ketegangan. Penampilan menjadi hal yang utama. Dari
yang hanya sekedar
memakai baju koko dan kadang berkopiah biasa sampai
dengan yang berpakaian
anakronistis, bersorban memelihara janggut a la Saudi
– mengidentifikasi
diri bagai para saudara dan sahabat Nabi.
Perjuangannya cukup radikal, mengarah kepada hukum
Islam pada jaman dahulu
yang acap membikin ngeri buku kuduk: potong tangan dan
hukum cambuk. Tata
cara lain juga diusahakan mengarah kepada jaman dahulu
– semua diambil
mentah hurufiah dari teks Quran nyaris tanpa
interpretasi. Yang dibaca lewat
mata, dilagukan lewat mulut lantas dilakukan dengan
tangan tanpa proses
keatas melewati area kepala tempat bersemayam anugerah
Allah yang disebut
otak, apa lagi kedalam, lewat sesuatu yang mulia yang
kita sebut hati.
Nyata terlihat, tidak ada negara Islam tipikal didunia
yang bisa dipakai
sebagai contoh keberhasilan. Dari manca negara contoh
sudah banyak, pada
contoh ekstrim Islam ideologis ini malah menyebar
terorisme, memanjakan
keterbelakangan, memelihara ketidak-adilan gender.
Contoh lain masih banyak.
Islam ini dari yang paling eksrim sampai yang
mendingan, jumlahnya di dunia
menduduki prosentase yang tidak terlalu besar, tetapi
karena vokal, aktif
dan agresifnya, sampai dasawarsa terakhir ini malah
berhasil memberi label
sangat (SANGAT) buruk bagi Islam secara keseluruhan.
Citra Islam menjadi
seburuk: Teroris, fundamentalis, agama jahat, keras,
dsb. Islam jenis ini
berdampak sangat jelek bagi perkembangan Islam secara
keseluruhan.
Pengaruhnya merusak dan meruyak seperti kanker sarcoma
ganas. Yang sehat
banyak terpengaruh menjadi ikut sakit dan menjadi ikut
ganas lalu secara
kumulatif dengan efek bola salju menjadi ikut pula
memperburuk citra.
Bila Muhammad SAW hidup sampai saat sekarang mungkin
beliau sendiri akan
mengangkat pedang melakukan jihad di jalan Allah
menghajar jejahat-jejahat
itu. Pedang memang menjadi jalannya yang keras khas
padang pasir jaman
jahiliyah dulu. Setidaknya itu yang saya bayangkan
sekarang.
ISLAM HUMANIS
Islam ‘esensial’ ini menjadi terpisah dan muncul
dengan sendirinya ketika
yang keras keras tertengarai sebagai ganas dan tidak
membuat orang
bersimpati. Islam yang ini bisa terpesona hanya oleh
kedamaian-kedamaian
yang muncul ketika melihat pagi hari bersimbah
mentari. Sederhana saja.
Islam ini cenderung kedalam. Bercakap-cakap asyik
dengan hati nurani. Bila
melihat yang indah ia suka. Bila melihat yang
menyentuh hati ia terharu.
Bila melihat yang menderita kalbunya menangis. Islam
seperti ini lalu bisa
bercampur baur dengan banyak lapisan dan warna warni
masyarakat, bahkan
dengan yang bukan Islam dan atheis sekalipun. Warnanya
tidak begitu kentara
sebagai petanda (identitas), tetapi sangat mutual
dalam hubungan
kemasyarakatan.
Karena sifatnya yang lebih menengok kedalam bila
berwacana tentang agama,
maka kehadirannya tidak begitu terasa satu persatu.
Simbol pedang lebih
berkonotasi semangat daripada darah yang hurufiah.
Tauladan Nabi diambil
esensinya lewat interpretasi-interpretasi yang berubah
terus mengikuti
perkembangan jaman, bukan misalnya: bajunya Nabi,
jenggotnya, pedangnya dsb.
Islam ini, yang saya sebut dengan Islam Humanis ini,
meneladani Nabi dengan
pengertian yang sesederhana ini: Bila dulu Nabi
berusaha untuk menciptakan
masyarakat yang lebih baik (menurut hati nuraninya
pada jamannya), maka
sekarangpun kami berusaha menciptakan masyarakat yang
lebih baik juga
(menurut interpretasi pada jaman sekarang). Tak pelak
lagi tak ada banyak
friksi terjadi.
Yang ada tersisa hanyalah kedamaian. Suara surau,
suara istigfar, ucapan
syukur, suara pujian kepada Tuhan, masih terdengar,
tetapi sudah tidak
berkonotasi ganas lagi. ‘Allahu’akbar’ tidak
berkonotasi seperti orang yang
sedang mengangkat pedang dan menagih darah seperti
pada Islam ideologis
dalam memahami jihad, melainkan sebagai ucapan
berserah dan kerendahan hati
tentang betapa kecilnya si ‘aku’ ini dihadapan Yang
Lebih Besar. Tidak lebih
dan tidak kurang.
Mengapa shalat bersikap membungkuk dan bersujud bahkan
mencium tanah dijawab
dalam sikap kerendahan hati ini. Mengapa shalat
diakhiri dengan menengok
kekanan dan kekiri dimengerti bahwa kerendahan hati
itu harus diaktualkan
dalam berbuat baik kepada sesama (orang lain). Baiknya
kita berikan
interpretasi juga untuk gerak mengusap wajah, sebagai
harapan agar kita
tersadarkan bahwa seringkali kita bisa pada jalan yang
salah.
Gemanya dalam hati mestinya berbunyi: Sadarlah!,
sadarlah!
Islam ini disebut Islam humanis, karena kembali pada
hakekatnya bahwa
manusia suka keindahan, kedamaian, kesejahteraan. Bila
melihat orang lain
susah hati ikut bersedih. Si ‘aku’ diinterpretasikan
menjadi Aku yang
komunal lewat semangat ‘ukhuwah’ (persaudaraan). Dan
persaudaraan bukan cuma
dengan sesama agama saja, melainkan dengan seluruh
umat manusia.
Masalahnya adalah, Islam lembut ini tidak bisa vokal
sekali karena suaranya
baru terdengar ketika dipantulkan oleh hati. Tidak
juga bisa agresif karena
percaya bahwa kedamaian adalah yang terpenting dalam
hubungan kemasyarakatan
untuk memunculkan kesejahteraan. Dan tidak bisa aktif
dan sesistimatis Islam
ideologis yang kiprahnya tersalurkan dalam wadah
sekongkrit partai-partai
politik. Maka meskipun saya perkirakan jumlahnya
banyak sekali tapi tetap
merupakan mayoritas yang diam. Seperti batu batu
kerikil dan pasir di alam
yang mengawasi dengan damai berjalannya waktu dari
pagi sampai malam sambil
dibasahi embun. Banyak tapi tak kentara. Meskipun tak
kentara, tapi
sebenarnya inilah Islam yang sebenarnya.
Atau: inilah Islam yang seharusnya!.
Ketika berbincang dengan beberapa kenalan baru dalam
forum informal berbagai
agama, merekapun mengatakan harapan yang sama untuk
agama mereka masing
masing. Semua sangat setuju, esensi kebersamaan itu
adalah kerendahan hati,
bukan keakuan yang berkibar kibar apalagi sambil
mengangkat pedang.
Pilihan adalah pada anda semua, saudara saudaraku!.
Bila didalam kendaraan politik yang bernama negara,
partai, kubu, lsm,
front, kelompok dsb, terdapat anda yang sedang membaca
seruan saya ini,
cobalah renungkan lagi. Bisakah kita bebaskan
kendaraan itu dari kepentingan
kelompok kelompok sektarian melainkan bagi umat
manusia pada umumnya?.
Atau bila kita bukan sopir bagi kendaraan itu, bisakah
kita menilai sopir
itu secara obyektif dengan kacamata yang tidak
berwarna, alias melepaskan
keakuan kita sebagai salah satu golongan atau
kelompok?.
Dibutuhkan sedikit kearifan untuk bisa mengambil jarak
terhadap keakuan diri
sendiri itu. Tetapi itu tidak berlebihan. Apa gunanya
kita sembahyang lima
kali sehari, merendahkan diri dihadapan Allah dan
menguatkan niat kita
setiap saat akhir shalat untuk berbuat baik kepada
sesama bila setitik
kearifanpun tak kita dapatkan juga?.
Aneh juga kan, padahal kita shalat setiap hari selama
seumur hidup lho.
Khadijah – Islam humanis
Padepokan Silat Langkah Suci
Ciganjur