Udd-45 dan usulan reformulasi

1 Menyoal UUD-45

0 Adnan Buyung Nasution melalui disertasi doktornya akhirnya membongkar “mitos” kegagalan Konstituante. Menurut Buyung, mitos itu lebih merupakan rekayasa politik. Ia ungkapkan bahwa usaha aggota Konstituante untuk merampungkan tatanan yang akan memperkuat negara konstitusional sudah hampir selesai ketika ada rekayasa politik ang mematahkan dialog di Konstituante, dan bahkan lalu menyebabkan pembubaran badan pembentuk UUD itu.

Hasil penyelidikan Buyung di berbagai perpustakaan membuktikan bahwa hasil yang dicapai Konstituante cukup besar. Ia menyebutkan dalam tiga aspek yakni : penegasan komitmen terhadap demokrasi, penegasan komitmen terhadap hak-hak asasi manusia, da pengakauan atas masalah kekuasaan. “Piagam Bandung” – sebutan untuk kumpulan hasil-hasil Konstituante itu yang amat jarang orang mengetahui – merangkum hasil-hasil Konstituante dan merupakan rumusan sebuah Konstitusi yang (sesungguhnya) amat baik (KOMPAS, Senin, 2 Oktober 2000, hal 38, Tinjauan Buku : Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim “Reformasi Konstitusi Indonesia : Perubahan Pertama UUD-1945”). “Piagam Bandung” itu dapat dijadikan sebagai landasan acuan rujukan untuk menyusun UUD Baru sebagai pengganti UUD-45.

1 Apakah UUD-45 itu merupakan suatu kebenaran mutlak yang tak boleh diganggu gugat ? Ataukah selama amanat ayat 2 Aturan Tambahan dan pasal 3 UUD-45 untuk menetapkan UUD-Baru belum ditunaikan secara utuh, maka UUD-45 itu tetap saja bersifat sementara, meskipun telah diupayakan mengakhiri “sifat kesementaraann”-nya itu dengan Dekrit 5 Juli 1959 (yang diperdebatkan para ahli tentang keabsahannya), atau dengan konsensus (pemaksaan kehendak, pendapat oleh yang kuat pada yang lemah dengan berbagai manipulasi), atau dengan UU tentang referendum (yang dituntut agar dicabut, dinyatakan tak berlaku lagi) ? Dalam hubungan dengan konsensus, patut juga disimak keprihatinan Prof Dr Deliar Noer atas kebijakan yang berpijak pada pemaksaan yang berkuasa. “Selama ini kita memaksakan diri untuk bersatu dari atas (persatuan semu). Kita dipaksa untuk menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. Akibatnya hancurlah negeri ini” (Tabloid AKSI, Vol.2, No.84, 23-29 Juni 1998, hlm 19).

2 Terdapat simalakama, kontradiksi antara ayat 2 Aturan Tambahan yang mencerminkan “sifat kesementaraan” dengan pasal 37 yang ditafsirkan (setidaknya diinginkan) mencerminkan “sudah tetap, tak bisa dirubah lagi”.

Kita ini memang hipokrit. Mulut menyatakan akan melaksanakan UUD-1945 secara murni dan konsekwen, tapi hati benci dan berupaya membungkam pasal 37 dengan menciptakan UU tentang Referendum

Agar UUD tidak diberati dengan “sifat kesementaraan”, seyogianya Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan ditiadakan, dihapuskan, dihilangkan saja.

3 Dengan adanya perubahan tafsir atas konstitusi, itu berarti bahwa konstitusi tidaklah mutlak benar. Sesuatu yang tidak mutlak benar bisa saja direvisi, mengalami sejumlah amandemen, seperti yang pernah diungkapkan bahwa “satu keputusan politis bisa saja dipertanyakan secara akademis”, “orang akademisi bisa melihat persoalan lebih jernih” (SUARA HIDAYATULLAH, No,06/IX/Oktober 1996, hal 74).

Tak perlu mati-matian mencegah revisi atau amandemen dengan menggunakan UU mengenai Referendum. Agar UUD tetap lestari, tak bisa dirubah, seyogianya Pasal 37 ditiadakan, dihapuskan saja, dan tak perlu UU referendum untuk mengamankan UUD. Juga agar UUD tetap lestari, tak bisa dirubah, seyogianya Pasal 3 berbunyi “MPR hanya berkuasa menetapkan GBHN dan Tap-Tap”.

4 Kalau memang diinginkan UUD-45 itu tetap langgeng lestari, tak dapat diubah selama-lamanya, kenapa ayat 2 Aturan Tambahan, pasal 37 dan kata “undang-undang dasar” dalam pasal 3 UUD-45 yang memberi peluang penetapan UUD-Baru tak dihapus saja, tanpa perlu mati-matian menciptakan UU tentang referendum untuk membungkam pasal 37 UUD-45 ? Inilah ironisnya. Muncul simalakama, selama ayat 2 Aturan Tambahan itu belum ditunaikan.

5. Kalau memang hendak melaksanakan UUD-45 secara utuh (murni dan konsekwen), kenapa mati-matian membungkam pasal 37 dengan menciptakan UU tentang referendum ? Kenapa amanat pasal 3 UUD-45 tak ditunaikan secara utuh, yaitu menetapkan UUD-Baru dan GBHN, dan malah hanya menetapkan GBHN saja dan setumpuk ketetapan lainnya (TAP-MPR) yang tak diamanatkan oleh pasal 3 tersebut ? Kenapa amanat pasal 33-34 tak ditunaikan secara utuh, yaitu untuk kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak, dan malah hanya untuk kesejahteraan, kemakmuran investor asing dan domestik ? Apakah benar pembangunan perekonomian nasional ini disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat semua, yang mengacu pada pasal 33-34 UUD-45, ataukah berdasarkan sistim bunga (pola hidup tamak/avarice, emangnya lu gue pikirin) dengan menjamurnya bank pemerintah, swasta, asing dan maraknya bursa modal, yang mengalihkan fungsi uang sebagai alat tukar menjadi sarana akumulasi kekayaan, yang menguntungkan keluarga KaKaEn investor asing dan domestik ? (MERDEKA, Sabtu, 12 September 1998, hlm 6, Tajuk Rencana). Apakah tulisan David Jenkins dalam THE SYDNEY MORNING HERALD 10 April 1986 yang mengungkapkan adanya pejabat tinggi yang mempunyai kekayaan bermilyar dollar itu hanya merupakan fitnahan atau isapan jempol saja, ataukah suatu kebenaran yang ditutup-tutupi ? Kenapa ayat 1 pasal 30 UUD-45 tak ditunaikan secara utuh, yaitu bahwa setiap warganegara berhak dan berkewajiban dalam usaha pembelaan negara, yang berarti bahwa rakyat (warga sipil) yang berhak dwifungsi, dan bukan militer yang berhak ikut serta dalam urusan sipil (penyelenggaraan negara) ? Militer profesional itu tidak perlu terlibat dalam politik sipil (Lembaran Dakwah HANIF, No.26, 10 Juli 1998, hlm 3, Pola Hidup Rasional). Apakah di kalangan militer, atau di kalangan birokrat yang sudah terdidik, terlatih dengan disiplin garis komando yang mengharuskan bawahan tunduk pada atasan tanpa tanya (monoloyalitas ?) dan siap dipilihkan, dapat diharapkan munculnya sikap demokratis yang hakiki ? Apakah floating-mass (UU No.3/1975), monoloyalitas, dwifungsi, asas tunggal menguntungkan demokrasi, atau malah mengebiri demokrasi, sehingga egaliter tersungkur ke bawah tapak hierarkis ?

6 Seandainya prosedur, tatacara dan alasan pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu sah/legal secara juridis konstitusional, apakah UUD-45 itu berpihak kepada rakyat, ataukah kepada penguasa/negara, sehingga penguasalah sebagai penentu ? Apakah kesupelan, keelastisan UUD-45 itu lebih menguntungkan rakyat ataukah menguntungkan yang berkuasa ? Perlukan UUD-45 itu dipertahankan, atau diganti sama sekali ?

Menurut telaah Muhammad Yamin tentang proses terjadinya UUD-45, dikemkakan bahwa “waktu undang-undang Indonesia dirancang, maka kata pembukanya menjamin demokrasi, tetapi pasal-pasalnya benci kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan demokrasi revolusioner. Bagi Republik Indonesia 1945 yang mengakui demokrasi dalam kata pembukanya sebagai dasar negara, maka menyolok mata benar hak-kemerdekaaan warga negara terlalu terbatas ditetapkan dalam Undang Undang Dasar. Hanyalah tiga pasal yang menjamin hak itu, yaitu pasal 27, 28, 29 (Mr Muhammad Yamin, “Proklamasi dan Konstitusi RI”, 1952:90). Pada halaman berikutnya, Yamin mengemukakan bahwa “Konstitusi RIS dan RI-1950 ialah satu-satunya daripada segala Konstitusi sedunia yang telah berhasil memasukkan Hak asasi seperti putusan UNO/PBB ke dalam Piagam Konstitusi.

7 Apakah yang menarik minat rezim orla (Demokrasi Terpimpin) dan orba (Demokrasi Pancasila) untuk gigih bersikukuh mempertahankan UUD-45 ? Apakah karena kesupelan dan keelastisannya, sehingga dapat dimanipulasi sesuai menurut selera yang berkuasa ? Apakah ketidak-adilan, pelanggaran HAM, penindasan oleh bangsa sendiri semasa rezim orla dan orba, intimidasi dan stigmatisasi juga dimungkinkan oleh karena kesupelan dan keelastisan UUD-45 dimanipulasi oleh yang berkuasa ? Apakah kesupelan dan keelastisan UUD-45 itu menguntungkan rakyat (demokrasi) ataukah hanya menguntungkan yang berkuasa (birokrasi, elitokrasi) ?

8 Kenapa Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD-45 dan bukan tetap pada UUDS-50, yang meskipun keduanya (UUD-45 dan UUDS-50) sama-sama memberikan kekuasaan yang amat luas sekali kepada Presiden, namun HAM dalam UUDS-50 sangat rinci sekali (dari pasal 7 sampai pasal 34), dibandingkan dengan dalam UUD-45 yang hanya tiga pasal saja (pasal 27, 28 dan 29) ? Juga UUD-45 masih berbau rasialis kesukuan/etnis antara asli dan bukan asli (ayat 1 pasal 6), dibandingkan dengan UUDS-50 yang bebas dari bau rasialis (diskriminasi) semacam itu (ayat 5 pasal 45, juga ayat 1 pasal 58). Pernahkan disadari bahwa konotasi dari golongan-golongan (ayat 1 pasal 2 UUD-45) adalah golongan minoritas yang tak terwakili melalui pemilu, seperti warga keturunan Tionghoa, Eropah, Arab ? Pernahkah warga keturunan beroleh kesempatan luas di lembaga eksekutif/militer, legislatif, yudikatif ? Benarkah UUD-45 bebas dari diskriminasi ras, tanpa membedakan antara yang asli dan yang bukan asli ? Dalam hubungan ini patut juga digarisbawahi bahwa dalam Pemilu 1955 pencalonan perorangan (tidak melalui partai) dijamin dalam representasi proporsional (REPUBLIKA, Senin, 29 Juni 1998, hlm 8). Tak ada pembatasan tentang jumlah partai dan jumlah orang yang berhak dipilih. Semuanya punya hak yang sama untuk dipilih. Dan partai (parpol) tak dibebani dengan berbagai persyaratan yang tak demokratis (yang memasung hak politik rakyat), seperti keharusan berasaskan Pancasila (Asas Tunggal), memiliki minimal empat-belas cabang, atau sejuta tanda-tangan pendukungnya, dan segala macam yang mencerminkan artifisial, rekayasa pseudo demokrasi.

9 Apakah Dekrit 5 Juli 1959 sah menurut konstitusi yang berlaku waktu itu ? Pasal 84 UUDS-50 memang menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR. Tapi tak satu pasal pun yang memberi hak kepada Presiden untuk membubarkan Konstituante dan menetapkan konstitusi. Apakah Dekrit 5 Juli 1950 itu untuk keselamatan negara, ataukah hanya untuk mempertahankan legalitas (status quo) akumulasi kekuasaan untuk mewujudkan Marhaenisme (Marxisme yang diterapkan di Indonesia) dalam bentuk Nasakom, Front Nasional, yang sejak tahun 1926 diperjuangkan oleh Ir Soekarno secara konsekwen ? Setelah kembali ke UUD-45, apakah Presiden Soekarno berwewenang menetapkan pembentukan MPR, dengan menggunakan PenPres (Penetapan Presiden) untuk mebentuk MPRS tanggal 10 November – 7 Desember 1960 bukan di ibu kota negara (menurut UUD-45 pasal 2 ayat 2), malah sidangnya yang pertama di adakan di Bandung ?

10 Sebagai alasan pembenaran pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menurut konsiderannya adalah “untuk menyelamatkan Negara Proklamasi”. Apakah memang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD-45 itu untuk keselamatan negara, ataukah untuk kepentingan akumulasi kekuasaan yang sedang berkuasa ? Dan kenapa bukannya tetap pada UUDS-50 ? (GATRA, No.38, 8 Agustus 1998, hal 44-45).

Pernah dikemukakan bahwa dengan dicanangkannya kembali ke UUD-45 pada tanggal 20 Februari 1959, maka memungkinkan terwujudnya suatu kepemimpinan nasional yang kuat. Presiden bisa bertindak mengangkat dan memberhentikan para Menteri yang merupakan pembantunya (Soegiarso Soerojo, “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”, 1988:101).

Bahasa awamnya, dengan memanfa’atkan kesupelan, keelastisan UUD-45 untuk mengakumulasi kekuasaan. Padahal fungsi utama konstitusi itu adalah untuk membatasi kekuasaan pemerintah/negara. Setelah kekuasaan di tangan, maka yang dikuasai dengan senang hati sepakat mengangkat sebagai Presiden seumur hidup, dalam sidang umum MPRS di Bandung pada tanggal 15-22 Mei 1963 dengan Tap-MPRS No.III/MPRS/1963.

11 Dari manakah dipungutnya konsep MPR sama dengan DPR Plus (pasal 2 ayat 1 UUD-45) itu ? Apakah dari Sriwijaya/Majapahit, Demak/Mataram, House of Lords/House of Commons, Senat/Congres ? Apakah dari Majlis Tinggi/Rendah, Dewan Ningrat/Rakyat ? Ataukah muncul dari ide/pemikiran perlunya pertanggungjawaban Presiden, seperti pertanggungjawaban Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada Ratu Belanda ? Apakah cocok untuk negara kesatuan, ataukah untuk negara federal (serikat) ? Kenapa lembaga legislatif harus dua ? Dan kenapa MPR dan DPR tak dipisahkan secara tegas, dan sama-sama dipilih melalui pemilu yang bersih, tanpa ada yang diangkat ? Kenapa tak semua warga negara sama-sama berhak memilih dan dipilih ? Kenapa ada yang diangkat, diistimewakan ? Apakah benar bahwa “Hanya pasal 1 UUD-45 yang menyangkut kedaulatan, dan pasal 33 yang betul-betul berasal dario pikiran-pikiran PI (Perhimpunan Indonesia) terutama dari Bung Hatta”, “Dan sekalipun yang menyusun UUD-45 adalah bangsa Indonesia, tapi sebenarnya adalah ‘ciptaan’ Jepang” ? (KOMPAS, Rabu, 7 Mei 1986, hlm 1).

Agar sesuai dengan kenyataan yang berlaku, seyogianya ditegaskan bahwa MPR dan DPR merupakan lembaga yang campur aduk antara yang dipilih rakyat dengan yang diangkat penguasa.

12 Dari mana dipungut gagasan bahwa kekuasaan membuat UU itu di tangan eksekutif (Presiden), dan legislatif (DPR) hanya sekedar memberikan persetujuan (pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1), yang secara transparan sangat benci pada pemisahan kekuasaan secara tegas ? Apakah karena Indonesia sepanjang sejarahnya tak pernah berjuang agar rakyat berdaulat penuh ? Apakah karena Indonesia tak pernah punya semacam Lock, Voltaire, Montesqieu, Rousseau ? Ataukah karena pengalaman yang senantiasa mentok dengan tembok kekuasaan, melahirkan sikap pasrah dan mental nrimo ? Silih berganti pemegang kendali kekuasaan, namun kondisi sosial=ekonomi rakyat jembel hampir tak berubah (KOMPAS, Rabu, 14 Maret 1984, hlm IV, Paternalisme). Adalah suatu kemustahilan, kondisi golongan miskin itu akan berubah tanpa suatu kekuasaan. Dan suatu kekuasaan tidak akan lahir tanpa diperjuangkan (TOPIK, No.6, 14 Februari 1984, hlm 6). Ideologi memerlukan kekuasaan.

13 Jika Presiden sudah tak mendapatkan kepercayaan rakyat banyak lagi, sedangkan wakil-wakil rakyat (MPR) masih tetap mempercayai Presiden, bagaimana cara penyelesaiannya ? Da bagaimana mengganti Presiden yang sudah tak dipercayai rakyat itu lagi secara konstitusional ? Jika terjadi silang pendapat antara Presiden dengan pihak MPR, siapakah yang seharusnya jadi penengah ? Dan jika Presiden harus dituntut atas keterlibatannya dalam tindakan melawan hukum (pidana, perdata, adminsistratif), siapa pula yang seharusnya mengajukan Presiden ke meja pengadilan ? Dalam mata demokrasi, rakyat dan Presiden sama kedudukannya di depan hukum (Dalam UUD-45 tak terdapat satu pasal semacam pasal 106 dalam UUDS-50). Dalam UUD-45 tidak ada aturan yang menyebutkan konsekwensi pelanggaran pelaporan keuangan. Pelanggaran pelaporan keuangan tidak diatur dalam UUD-45. Dalam UUD-45 tidak tercantum sanksi apa yang akan diberikan pada pelanggaran pelaporan keuangan. Demikian ungkap praktisi dan pakar hukum Adnan Buyung Nasution (MERDEKA, Selasa, 3 November 1998, hlm 8). Meskipun BPK mempunyai kekuasaan dan kewenangan, tapi tidak bisa menindaklanjutinya, ungkap Faisal Basri (idem)

14 Apakah penyerahan kekuasaan kepresidenan dengan SUPERSEMAR itu sah menurut konstitusi yang berlaku (UUD-45 pasal 8) ? Kenapa mempersoalkan hilangnya Naskah SUPERSEMAR dipandang tak perlu, dinilai mundur ke belakang ? Kenapa penerima SUPERSEMAR tak mengamankan pemberi SUPERSEMAR (KOMPAS, 11 Maret 1997, hlm 14). Apakah amanat SUPERSEMAR itu dilaksanakan seutuhnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi SUPERSEMAR itu ? Pernah diberitakan bahwa Soenardi SH, Ketua PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) termasuk orang hilang sejak 1983 yang diculik suatu kelompok yang tak diketahui identitasnya, karena Soenardi SH pernah menulis surat kepada Ketua MPR tentang perlunya meninjau ulang sejauh mana keterlibatan Soeharto dengan G30S. (SABILI 8:2000=5-6)

15 Apakah ada satu pasal ataupun dalam Pembukaan UUD-45 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pancasila ? Pasal 29 ayat 1 UUD-45 hanya menyebutkan bahwa Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Apakah pernah BPUUPKI membahas, membicarakan, menetapkan usulan, saran Ir Soekarno untuk menamakan ide, gagasannya yang disampaikannnya pada 1 Juni 1945 itu dengan nama Panca Dharma, atau Pancasila, atau Trisila, atau Ekasila ? Lima prinsip pokok dasar negara yang disarankan Ir Soekarno dapat diperas menjadi tiga asas, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ke-Tuhanan. Dari ke tiga asas ini bisa diambil yang lebih hakiki lagi, yaitu Gotong Royong (Sidik Kertapati, “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 “, 1961, hlm 62). Adakah kesepakatan dari BPUUPKI untuk memberi nama ide Ir Soekarno itu dengan nama PANCASILA ? Apakah penamaan dasar negara itu dengan Pancasila berdasarkan konstitusi, sesuai dengan UUD-45 ? Pada rezim orde baru, Pancasila, sesuai dengan wajah kultur Jawa yang dianut elite politik, ditempatkan sebagai satu-satunya asas (mitos ?) bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, yang memaksa kekuatan-kekuatan politik bersatu dan terpusat pada Presiden yang sekaligus menempatkannya sebagai pusat kekuasaan yang menempati hierarki tertinggi (Tabloid AKSI, Vol.2, No.84, 23-29 Juni 1998). Ir Soekarno sebagai penggagas hanya mengupayakan agar gagasannya dapat diterima sebatas dasar filosofis negara, dan tak pernah berupaya agar diterima sebagai asas-dasar partai politik, apalagi asas-dasar organisasi sosial-kemasyarakatan, bahkan mengakui dan menerima eksistensi/keberadaan ideologi nasionalisme, agama, komunisme.

16 Pernahkah disadari bahwa Pancasila itu berasal dari ide, gagasan Ir Soekarno, seorang tokoh yang sepanjang hayatnya sejak tahun 1926 konsekwen memperjuangkan Marhaenisme, yaitu Marxisme yang diterapkan di Indonesia (yang berke-Tuhan-an ?), yang paralel dengan komunisme, yang merupakan hasil pemikiran berdasarkan metode historis materialisme ? Dengan retorikanya yang memukau mampu membujuk tokoh-tokoh Islam untuk menerima ide gotongroyong itu, dengan menambahkan “Ketuhanan yang berkebudayaan” pada buntut/ujung ide, gagasannya itu. Sedangkan ide, gagasan Mr Muhammad Yamin, seorang Murba, yang disampaikannya pada 29 Mei 1945, meskipun inti materinya sama dengan ide Ir Soekarno, namun Mr Muhammad Yamin tak mampu meraih dukungan BPUUPKI untuk menyetujui idenya.

17 Sehubungan dengan judul GATRA “Konstitusi Tak Mutlak” (No.24, Tahun IV, 2 Mei 1998, hal 44), maka ungkapan/bahasa “Kalau ada yang melakukan perubahan tatanegara akan berhadapan dengan ABRI, sebab berarti mengubah Pancasila dan UUD-45”, merupakan transparansi arogansi kefanatikan berlebihan yang tak terkira luar biasanya, adalah ungkapan/bahasa kekuasaan/kekuatan totaliter dan bukanlah ungkapan/bahasa yang mendukung kebebasan berpendapat seperti yang dijamin oleh UUD-45 itu sendiri. Entah kalau ini merupakan manifestasi dari “tentara yang berkuasa cenderung tidak menyukai partai” (SUARA HIDAYATULLAH, No.06/IX/Oktober 1996, hal 74).

Ataukah memang di kalangan militer, atau di kalangan birokrat sulit ditemukan sikap demokrasi yang hakiki, karena terdidik dengan garis komando yang mengharuskan bawahan harus tunduk patuh pada atasan tanpa tanya (monoloyalitas) ?

18 Berkenaan dengan Pancasila, ketika merayu, membujuk tokoh-tokoh Islam menerima menyetujui gagasan Pancasilanya tentang prinsip-prinsip permusyawaratan perwakilan, Ir Soekarno menyebutkan bahwa “hati Islam Bung Karno ingin membela Islam dalam mufakat permusyawaratan”, dan mengajak semua untuk bekerja sehebat-hebatnya agar hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu hukum-hukum Islam pula (Ir Soekarno, “Lahirnya Pantja Sila”, 1947:31).

Apakah memang gagasan Pancasila Ir Soekarno itu untuk membela kepentingan Islam, seperti yang diungkapkannya ketika merayu tokoh-tokoh Islam untuk menerima menyetujui idenya tentang prinsip-prinsip “permusyawaratan perwakilan”, ataukah hanya untuk memperalat, atau untuk membodohi umat Islam ? Seandainya Ir Soekarno benar-benar ingin membela kepentingan Islam, kenapa pada sidang Konstituante 1955 Ir Soekarno itu tidak berpihak pada kepentingan Islam, malah bahkan membubarkan Konstituante hasil pilihan rakyat itu ?.

Ataukah karena memang sejak awalnya (1926) perjuangan politik Ir Soekarno untuk menegakkan Nasa-Marx yang disebutnya dengan Marhaenisme, yaitu Marxisme yang diterapkan di Indonesia (yang berke-Tuhanan ?), yang paralel dengan komunisme ? (Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, 1988:372,387).

19 Kalau memang jujur bertekad melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen dengan jiwa, .semangat, amanat, dan hisorisnya yang berasal dari gagasan Ir Soekarno itu, seyogianya membuka pintu selebar-lebarnya mengajak semua untuk bekerja sehebat-hebatnya agar hukum-hukum yang keluar dari DPR itu hukum-hukum Islam (bukan malah Islamophobi).

Dengan demikian, maka pakar Hukum Tatanegara JHA Logemann tak perlu sampai merasa menghadapi pertanyaan yang tidak jelas, bagaimana sifat Islam dari konstitusi dapat lepas begitu saja, hampir tanpa penjelasan dan tanpa debat. Sungguh merupakan hal yang misteri (ajaib), merupakan teka-teki dari penyusunan UUD-45, sehingga tokoh Kahar Muzakir begitu geram terhadap sikap anti-Islam (Prof JHA Logemann, “Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya UUD-1945”, 1983:21).

20 Pernahkah sempat terpikirkan, apa memang sistim multi partai, demokrasi parlementer, tanpa asas tunggal, tanpa dwifungsi itu adalah benar-benar jelek ? Sedangkan sistim dwi partai, demokrasi presidentil, dengan asa tunggal, dengan dwifungsi itu benar-benar baik ? Ataukah semua ini juga merupakan rangkaian stigmatisasi ? Sehingga setelah lebih tiga puluh tahun dalam suasana kestabilan, namun tak kunjung sampai lepas landas, malah terhempas kandas. Era pembangunan (1966-1998) merupakan suatu kegagalan. Tak ada pikiran waras yang bisa menyangkalnya (REPUBLIKA, Senin, 29 Juni 1998, hlm 8).

21 Dalam bahasa awam, tampaknya UUD-45 itu bersifat mendua (mengandung konflik/kontradiksi dalam dirinya). Pada pembukaannya rakyat yang berdaullat, yang berkuasa (demokrasi), tapi dalam batang tubuhnya negara yang berdaulat, yang berkuasa (kedaaulatan negara) berikut hak prerogatif Presiden yang luar biasa luasnya.

Pasal 33-34 UUD-45 (yang tak pernah diterapkan secara murni dan konsekwen) tampaknya berkonotasi sosialis (idem, hal 23), bahkan – menurut Musbar – lebih dekat dengan sistim komunis (Musbar, “Pelajaran Ekonomi” II, 1977:207).

Akibat kerancuan ini amat susah tercapai kompromi mengenai Ekonomi Pancasila versi Mubyarto dan versi Kwik Kian Gie (KOMPAS, 19 Mei 1977).Baik disadari bahwa “hanya pasal 1 UUD-45 yang menyangkut kedaulatan, dan pasal 33, yang betul-betul berasal dari pikiran-pikiran PI (Perhimpunan Indonesia), terutama dari Bung Hatta (KOMPAS, Rabu, 7 Mei 1986, hal 1).Agar sesuai dengan sistim ekonomi pasar, seyogianya Pasal 33 ayat 3 berbunyi “kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran pemodal”.

22 Sesuai dengan amanat Pasal 34 UUD-45, seyogianya warga negara yang terlantar, seperti terkena PeHaKa, gelandangan, pengemis, pengamen, pemulung dipelihara oleh negara, dijamin oleh negara biaya hidupnya beserta keluarganya, baik dalam keadaan normal, apalagi dlam keadaan krisis, sampai mereka tak terlantar lagi. Atau seyogianya Pasal 34 berbunyi “fakir miskin dan warga terlantar ditanggung oleh masyarakat”. Bila masyarakat tak mempedulikan yang terlantar, maka yang terlantar boleh mengambil haknya secara paksa, bahkan dengan kekerasan.

23 Agar UUD tetap sesuai dengan aspirasi yang berkuasa, seyogianya Pasal 2 ayat 1 berbunyi “Sepertiga dari anggota MPR adalah anggota-anggota DPR, sedangkan dua pertiganya adalah utusan-utusan pejabat daerah yang diangkat oleh pemerintah”.

24 Agar sesuai dengan kenyataan yang berlaku, seyogianya Pasal 2 ayat 2 berbunyi atau dijelaskan “MPR dipilih sekali dalam lima tahun, yaitu akan jadi wakil rakyat di DPR”.

25 Agar sesuai dengan bunyi sila keempat dari Pancasila, seyogianya Pasal 2 ayat 3 berbunyi atau dijelaskan “Segala putusan MPR ditetapkan dengan aklamasi secara musyawarah mufakat”.

26 Agar sesuai dengan kenyataan yang berlaku, seyogianya Pasal 5 disisip dengan yang berbunyi atau dijelaskan “Presiden menyelenggarakan pemilu. Presiden mengangkat sepertiga dari jumlah anggota DPR dan mengangkat dua pertiga dari jumlah anggota MPR. Presiden mempunyai wewenang penuh untuk membekukan pengurus parpol”.

27 Agar UUD bersih dari noda ras diskriminasi, seyogianya kata “aseli” dalam Pasal 6 ayat 1 ditiadakan, dihapuskan.

28 Agar sesuai dengan sila keempat dari Pancasila, seyogianya Pasal 6 ayat 2 berbunyi atau dijelaskan “Presiden dipilih oleh MPR dengan aklamasi secara musyawaraha mufakat. Dan wakil Presiden dipilih dan diangkat oleh Presiden”.

29 Agar sesuai dengan kenyataan sejarah seyogianya Pasal 7 berbunyi atau dijelaskan “Presiden dipilih sekali lima tahun, dan kembali dapat dipilih lagi setelah itu dalam beberapa periode jabatan secara tak terbatas”, atau “Presiden dipilih sekali tiga puluh tahun”.

30 Agar sesuai dengan kenyataan yang berlaku, seyogianya Pasal 10 berbunyi atau diberi penjelasan “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI/Polri, mencakup angkatan darat, angkatan udara, angkatan laut, dan termasuk kepolisian”.

31 Agar UUD tetap sesuai dengan aspiriasi yang berkuasa, seyogianya Pasal 19 ayat 1 berbunyi “Dua pertiga anggota DPR adalah wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu, sedangkan sepertiganya adalah wakil TNI/Polri yang diangkat oleh pemerintah”.

32 Agar sesuai dengan dwifungsi, seyogianya Pasal 30 ayat 1 berbunyi “Hanya TNI/Polri yang berhak dan berkewajiban dalam urusan pembelaaan negara, disamping penyelenggaraan negara”.

33 Agar sesuai dengan kenyataan yang berlaku, seyogianya Pasal 23 ayat 4 berbunyi atau dijelaskan “Hak keuangan negara lain-lain diatur dengan kebijakan pemerintah”.

34 Agar sesuai dengan kenyataan yang berlaku, seyogianya Pasal 24 ayat 2 berbunyi atau dijelaskan “Susunan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan kebijakan pemerintah

35 Agar sesuai dengan kenyataan yang berlaku, seyogianya Pasal 28 berbunyi atau diberi penjelasan “Kekuatan sosial politik diwakili oleh parpol pemenang pemilu, TNI/Polri dan Utusan Pejabat Daerah. Untuk berkumpul dan menyelenggarakan pertemuan harus mendapat ijin tertulis dari aparat keamanan. Mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan harus sesuai dengan kebijakan pemerintah. Mimbar bebas harus sesuai dengan visi dan persepsi pemerintah. Organisasi kemasyarakatan dibina oleh pemerintah. Unjuk rasa (unjuk kuasa?) diatur oleh pemerintah”.

36 Agar sesuai dengan aspirasi kebangsan seyogianya Pasal 29 ayat 1 berbunyi ” Negara berdasar Pancasila dan aspirasi rakyat”. Dan ayat 2 berbunyi atau dijelaskan “Negara menjamin kemerdekaan bagi pemeluk agama, dan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.

= Bekasi 30 September 2000 =

Asrir

2 Usulan Re-formulasi UUD-45

Usulan ini bukanlah dari Pakar Tata Negara, tetapi dari warga/masyarakat awam yang peduli Negara.

Pembukaan diusulkan menjadi “Negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, serta Keadilan sosial. Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban melindungi seluruh Warganegara dan Wilayah Indonesia, meningkatkan Ketakwaan, Kecerdasan dan Kesejahteraan Warga Indonesia, dan ikut mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia”.
Pasal 1 ayat 1 diusulkan menjadi “Negara Indonesia berentuk Republik”. Pasal 1 ayat 2 diusulkan menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Pasal 2 dan Pasal 3 tentang MPR diusulkan ditiadakan.
Pasal 4 ayat 2 tentang Wakil Presiden ditiadakan.
Pasal 6 ayat 2 diusulkan menjadi “Presiden dipilih oleh DPR dengan suara yang terbanyak””
Pasal 7 diusulkan menjadi “Presiden memegang jabatannya selama 4 tahun, dan tidak dapat dipilih untuk masa jabatan berikutnya”.
Pasal 8 diusulkan menjadi “Jika Presiden tidak dapat melakukan kewajibannya, maka apenggantinya dipilih oleh DPR”.
Pasal 9 diusulkan menjadi “Sebelum memangku jabatannya, Presiden di hadapan DPR bersumpah dengan nama Allah akan melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”.
Pasal 13 ayat 1 diusulkan tambahan “Dengan persetujuan DPR”.
Pasal 14 dan Pasal 15 diusulkan tambahan “Dengan Persetujuan MA”.
Pasal 16 tentang DPA diusulkan ditiadakan.
Pasala 17 ayat 2 diusulkan menjadi “Menteri-menteri diangkat dari anggota DPR dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR”.
Setelah Pasal 17 diusulkan/disipkan menjadi “Pemerintah menetapkan dan melaksanakan Rancangan Program Pembangunan Kesejahteraan dan Kemakmuran bagi seluruh warganegara”.
Pasal 19 ayat 1 diusulkan menjadi “DPR terdiri dari wakil-wakil rakyat yang semuanya dipilih dalam Pemilu yang LUBER (Langsung Umum Bebas dan Rhasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil) yang ditetapkan dengan Undang-Undang”. Pasal 19 ayat 2 diusulkan menjadi “DPR bersidang sedikitnya dua kali dalam setahun”.
Pasal 25 diusulkan/disipkan menjadi “Pejabat Negara yang terlibat tindak kejahatan dan penyalah-gunaan kekuasaan diadili oleh MA”.
Pasal 27 ayat 2 diusulkan menjadi “Pemerintah berkewajiban mengupayakan setiap warganegara mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak””
Setelah Pasal 28 diusulkan/disisipkan menjadi “Pemerintah tidak boleh menangkap atau menahan, memeriksa atau menghukum siapa pun, kecuali atas perintah kekuasaan yang sah menurut Undang-Undang”.
Pasal 29 ayat 2 diusulkan menjadi “Pemerintah berkewajiban menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadat menurut Agamanya masing-masing”.
Setelah Pasal 30 diusulkan/disisipkan menjadi “AD (Angkatan Darat), AL (Angkatan Laut), AU (Angkatan Udara) hanya bertugas dalam urusan Pertahanan Negara”. Setelah itu diusulkan/disisipkan pula “Untuk memelihara Kamtib diadakan Kepolisian yang diatur dengan Undang-Undang”.
Pasal 31 ayat 1 diusulkan menjadi “Pemerintah berkewajiban mengupayakan setiap warganegara mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran”.
Pasal 33 diusulkan menjadi “Semua produksi dan faktor produksi serta hak-milik perseorangan haruslah mempunyai fungsi sosial, untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama”.
Pasal 34 diusulkan menjadi “Pemerintah berkewajiban mengupayakan setiap warganegara yang melarat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya””
Pasal 37 tentang perubahan UUD-1945, dan Aturan Peralihan serta Aturan Tambahan diusulkan ditiadakan.

= Bekasi 17 Juni 1999 =

asrir
1

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Leave a comment